Kejadian malnutrisi pada pasien yang dirawat di rumah sakit (RS) masih relatif tinggi sekitar 20-50%. Hal ini menyebabkan pasien semakin rentan terkena infeksi atau komplikasi lebih lanjut, dan dapat menyebabkan lama perawatan di RS yang semakin panjang dan biaya yang semakin meningkat.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab kejadian malnutrisi pada pasien yang dirawat di RS karena kurangnya identifikasi atau pengenalan secara dini (skrining) adanya risiko malnutrisi ketika pasien masih awal masuk RS. Dengan skrining tersebut, pasien yang berisiko dapat dikaji lebih lanjut untuk mendapatkan terapi gizi yang sesuai.
“Salah satu penelitian menyebutkan bahwa selama inipencatatan data berat dan tinggi badan, jumlah makanan yang dihabiskan pasien serta asupan nilai gizinya belum dilakukan dengan baik” ujar dr. Minidian Fasitasari, MSc., SpGK., dalam sebuah sesi workshop medical nutrition theraphy di Hall RSI Sultan Agung belum lama ini.
Nah, bagaimana seharusnya pelayanan gizi yang komprehensif bagi pasien RS ? “Idealnya, mereka menjalani skrining dan penilaian status gizi sejak awal masuk dan dipantau selama masa perawatan. Oleh karena itu RS sebaiknya mempunyai Tim Terapi Gizi (TTG), Nutrition Support Team (NST), Tim Dukungan Gizi (TDG) atau TimNutrition Care Process (NCP) yang bekerja secara sistematis dalam merawat gizi pasien.” Tim tersebut dapat terdiri dari dokter spesialis gizi klinik (jika ada), atau dokter spesialis/dokter umum yang mempunyai pernah mengikuti pelatihan gizi klinik, ahli gizi, perawat, termasuk dari farmasi juga.
“Mereka bertanggung jawab atas perawatan atas pelayanangizi pasien secara efektif dan efisien sehingga diharapkan kejadian malnutrisi dapat diminimalisasi. Paradigma lain yang menurut dr Minidian harus diubah mengenai gizi adalah bahwa makanan dapat “difungsikan” sebagai pengobatan bukan sekedar pelengkap pelayanan RS. Jadi terapi gizi merupakan bagian dari terapi medis pasien di RS yang bersifat individual dan spesifik.