Di Asia Tenggara setiap tahunnya terdapat 38 ribu anak yang lahir dengan tuli. Tuli yang terjadi kadang berupa tuli kongenital (sebagian) bahkan tuli total. Jumlah tuli kongenital di Indonesia juga lumayan banyak. “Ada sekitar 214 ribu perjumlah penduduk yang mencapai 200 juta. Dikhawatirkan akan terus bertambah setiap tahunnya mengingat semakin banyaknya angka kelahiran”.
Demikian setidaknya warning dari dr Renny Swasti Wijayanti, Sp.THT-KL dalam symposium symposium medical update in Ear, Nose Throat (ENT) di Hall Direksi RSI Sultan Agung belum lama ini.
Agar para orang tua bisa meminimalkan dampak dari tuli kongenital ini, tidak ada kata lain selain melakukan deteksi dini yang bisa dilakukan oleh orang awam.
“Orang tua dapat memperkirakan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak bila pada usia tertentu belum bisa merespon yang diharapkan. Semisal di usia 12 bulan, belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi, di usia 18 bulan belum bisa menyebutkan 1 kata yang mempunyai arti dan pada 24 bulan belum bisa merangkai kata maka patut curiga sang buah hatinya alami ketulian” paparnya.
Bila alami indikasi seperti hal itu, dr Renny menganjurkan untuk segera melakukan cross check kepada dokter spesialis THT yang nantinya akan melakukan serangkaian pemeriksaan dini untuk deteksi ketulian.
Sebagaimana yang dikatakan dr Renny, beberapa pemeriksaan untuk mendeteksi dini antara lain Oto Acoustic Emission (OAE) ; Timpanometri ; Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) ; Audiometri bermain (play audiometry) dan Behavioral Observation Audiometry (BOA).
Dari serangkaian deteksi dini itu, OAE adalah pemeriksaan yang bisa menilai fungsi koklea secara objektif dan sensivitasnya bisa mendekati 100 persen. Bahkan, tidak perlu menunggu sampai satu atau dua tahun, bayi yang baru berusia 2 hari pun bisa dilakukan deteksi dengan OAE ini” pungkasnya.